Kamis, 24 September 2015

Dealova (cerpen)


"Bunda ... Ayah ganteng, ya?" Putri berujar setelah kami selesai shalat berjamaah, memeluk bundanya dengan manja dalam balutan mukena.

"Kalau ayahmu ndak ganteng mana Bunda mau," Viona tersenyum manis ke arahku, mendekap putrinya.



"Anak Ayah sudah mulai genit, ya?" Aku mengerling ke arah isteriku, mengisyaratkan sesuatu dan kami pun menyerbu Putri dengan gelitikan hingga ia menangis tertawa.

"Ahahaha ... ampun Ayah, Bunda."

***
Empat bulan setelah kepergian Viona, Putri terlihat sudah dapat menerima kehilangan ibunya, ibadahnya kian taat, sekolah tambah berprestasi. Sementara aku?

Di bulan-bulan awal kematian Viona, gejolak kehampaan begitu menyiksa. Minuman keras pelampiasan kegalauanku. Namun ketegaran Putri bagai menampar keras relung-relung sukmaku. Dia menyeret ragaku menuju keinsyafan. Tanggung jawab dan hakikat.

Sejujurnya sampai detik ini aku belum sanggup sepenuhnya melupakan Viona, lukisan masa lalu nan indah tak mudah aku hilangkan dari memoriku. Aku rapuh.
Disk player kuhidupkan, mendengarkan lagu kesukaan kami berdua. Namun air mata justru tak kuasa terbendung.

Dealova
cipt : Opik
voc : Once

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu
Karena langkah merapuh tanpa dirimu
Oh karena hati tlah letih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar