Negeri syurga, aneka suku bangsa, ragam budaya, ribuaan
bahasa, dan segala keaneka ragaman hayati melebur bersama satu tanah air
bernama Indonesia. Pulau-pulau berseri, lautan sakti, lembah dan gunung asri
adalah kenyataan pasti betapa kaya dan maruahnya negeri ini. Tak akan bisa
dipungkiri kita lahir, tumbuh, besar, makan, minum dan dimanjai oleh rahim ibu
pertiwi. Itulah faktanya.
Semenjak dahulu kala kekayaan negeri ini mashur di
penjuru dunia.
Saudagar –saudagar pedagang datang, penyebar agama datang,
penjajah pun datang. Tiga setengah abad lebih kemerdekaan kita direnggut paksa.
Bangsa-bangsa serakah datang silih berganti. Si Pirang berhidung mancung datang
dengan bedil dan meriam sementara kita hanya sanggup melawan dengan keris dan
parang, jampi-jampi para leluhur juga tak sanggup menahan serbuan peluru-peluru
panas. Namun sebagai manusia yang lahir dan ditakdirkan merdeka, pendahulu kita
tidak menyerah dan membiarkan hak-hak mereka dirampas begitu saja.
Pahlawan-pahlawan lahir silih berganti, angkat senjata, melawan dan berjihad
untuk sebuah kehormatan. Selama itu nusantara bersimbah peluh, air mata dan
darah, perang yang tak seimbang namun menyerah bukan jawaban. Merdeka atau
mati.
Datang lagi Si Sipit mengaku saudara, bersandiwara
mengajak merdeka, yang ternyata hanya estafet dari kesengsaraan yang didera
anak negeri, bahkan lebih perih. Nusantara diamuk nestapa panjang. Dari sini
lah pintu gerbang menuju kebebasan menganga, persatuan anak bangsa dari segala
etnis menggelora. Semangat juang kian membumbung. Hasilnya, Atas berkat rahmat
Allah SWT dan dengan didorong oleh keinginan luhur bangsa ini merdeka.
70 tahun sudah kemerdekaan dari penjajahan fisik itu kita
raih, pembangunan demi pembangunan disadari atau tidak sudah terjadi setahap
demi setahap, walaupun kemajuan dan kemakmuran yang dicita-citakan masih jauh
dari harapan. Tapi di balik itu semua bangsa ini jelas mengalami kemunduran. Degredasi
moral jadi santapan, Nasionalisme menjadi barang mahal, individualistis dan
kapitalis jadi budaya baru. Bangsa yang terkenal dengan budaya gotong royong
dan semangat persatuan tinggal nama, bumi indah pertiwi dibabat habis demi
keserakahan. Sungai dan laut dicemari. Hutan, gunung dan lembah sudah dirambah
dan tak lagi bertuah. Tindakan asulsila merajalela, merampas logika. Inilah
Indonesia setelah 70 tahun merdeka.
Bisakah keadaan ini berubah? Apakah yang salah dengan
kita? Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Jawabannya ada pada kita.
Siapa kita? Dimana kita? Apa yang sudah kita perbuat untuk negeri ini? Malulah
pada pahlawan, pada para pendiri bangsa. Mereka sudah berjuang dan lalu
menitipkan negeri ini pada kita dengan darah, air mata dan nyawa. Tak
seharusnya kita menyia-nyiakan itu semua, kita bukan barbar. Kembalilah jadi
anak negeri yang berbakti pada ibu pertiwi, jangan jadi pecundang yang
menggadai isi bumi. Berbuat dan bertindaklah seakan kita kembali terjajah, yang
pada kenyataannya memang begitu meski tak kasat mata, kita terjajah secara
ekonomi, politik dan budaya. Mungkin dan pasti, semangat dan jiwa patriotisme
para pahlawan tak akan bisa kita samai, tapi setidaknya mulailah demi nusa,
bangsa dan negara tercinta karena faktanya kita adalah Indonesia
Lagu/reff:
Di sana tempat lahir
beta
Dibuai, dibesarkan
bunda
Tempat berlindung di
hari tua
Tempat akhir menutup
mata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar