Selasa, 22 September 2015

Indonesia adalah Kita, Kita adalah Indonesia




Negeri syurga, aneka suku bangsa, ragam budaya, ribuaan bahasa, dan segala keaneka ragaman hayati melebur bersama satu tanah air bernama Indonesia. Pulau-pulau berseri, lautan sakti, lembah dan gunung asri adalah kenyataan pasti betapa kaya dan maruahnya negeri ini. Tak akan bisa dipungkiri kita lahir, tumbuh, besar, makan, minum dan dimanjai oleh rahim ibu pertiwi. Itulah faktanya.
Semenjak dahulu kala kekayaan negeri ini mashur di penjuru dunia.
Saudagar –saudagar pedagang datang, penyebar agama datang, penjajah pun datang. Tiga setengah abad lebih kemerdekaan kita direnggut paksa. Bangsa-bangsa serakah datang silih berganti. Si Pirang berhidung mancung datang dengan bedil dan meriam sementara kita hanya sanggup melawan dengan keris dan parang, jampi-jampi para leluhur juga tak sanggup menahan serbuan peluru-peluru panas. Namun sebagai manusia yang lahir dan ditakdirkan merdeka, pendahulu kita tidak menyerah dan membiarkan hak-hak mereka dirampas begitu saja. Pahlawan-pahlawan lahir silih berganti, angkat senjata, melawan dan berjihad untuk sebuah kehormatan. Selama itu nusantara bersimbah peluh, air mata dan darah, perang yang tak seimbang namun menyerah bukan jawaban. Merdeka atau mati.


Datang lagi Si Sipit mengaku saudara, bersandiwara mengajak merdeka, yang ternyata hanya estafet dari kesengsaraan yang didera anak negeri, bahkan lebih perih. Nusantara diamuk nestapa panjang. Dari sini lah pintu gerbang menuju kebebasan menganga, persatuan anak bangsa dari segala etnis menggelora. Semangat juang kian membumbung. Hasilnya, Atas berkat rahmat Allah SWT dan dengan didorong oleh keinginan luhur bangsa ini merdeka.
70 tahun sudah kemerdekaan dari penjajahan fisik itu kita raih, pembangunan demi pembangunan disadari atau tidak sudah terjadi setahap demi setahap, walaupun kemajuan dan kemakmuran yang dicita-citakan masih jauh dari harapan. Tapi di balik itu semua bangsa ini jelas mengalami kemunduran. Degredasi moral jadi santapan, Nasionalisme menjadi barang mahal, individualistis dan kapitalis jadi budaya baru. Bangsa yang terkenal dengan budaya gotong royong dan semangat persatuan tinggal nama, bumi indah pertiwi dibabat habis demi keserakahan. Sungai dan laut dicemari. Hutan, gunung dan lembah sudah dirambah dan tak lagi bertuah. Tindakan asulsila merajalela, merampas logika. Inilah Indonesia setelah 70 tahun merdeka.
Bisakah keadaan ini berubah? Apakah yang salah dengan kita? Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Jawabannya ada pada kita. Siapa kita? Dimana kita? Apa yang sudah kita perbuat untuk negeri ini? Malulah pada pahlawan, pada para pendiri bangsa. Mereka sudah berjuang dan lalu menitipkan negeri ini pada kita dengan darah, air mata dan nyawa. Tak seharusnya kita menyia-nyiakan itu semua, kita bukan barbar. Kembalilah jadi anak negeri yang berbakti pada ibu pertiwi, jangan jadi pecundang yang menggadai isi bumi. Berbuat dan bertindaklah seakan kita kembali terjajah, yang pada kenyataannya memang begitu meski tak kasat mata, kita terjajah secara ekonomi, politik dan budaya. Mungkin dan pasti, semangat dan jiwa patriotisme para pahlawan tak akan bisa kita samai, tapi setidaknya mulailah demi nusa, bangsa dan negara tercinta karena faktanya kita adalah Indonesia
Lagu/reff:
Di sana tempat lahir beta
Dibuai, dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar